Sabtu, 24 Juni 2017

Amangkurat II.



3. Amangkurat II.
Disebut juga dengan Sunan Tegal Arum. adalah pendiri sekaligus raja pertama Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram, yang memerintah tahun 1677-1703.
Ia merupakan raja Jawa pertama yang memakai pakaian dinas ala Eropa sehingga rakyat memanggilnya dengan sebutan Sunan Amral, yaitu ejaan Jawa untuk Admiral.
Nama asli Amangkurat II ialah Raden Mas Rahmat, putra Amangkurat I raja Mataram yang lahir dari Ratu Kulon putri Pangeran Pekik dari Surabaya.
Amangkurat II memiliki banyak istri namun hanya satu yang melahirkan putra (kelak menjadi Amangkurat III). Konon, menurut Babad Tanah Jawi ibu Amangkurat III mengguna-guna semua madunya sehingga mandul.

Mas Rahmat dibesarkan di Surabaya. Ia kemudian pindah ke istana Plered sebagai Adipati Anom. Namun hubungannya dengan adiknya yang bergelar Pangeran Singasari buruk. 
Pada tahun 1661 Mas Rahmat memberontak didukung para tokoh yang tidak suka pada pemerintahan 
Amangkurat I. Pemberontakan kecil itu dapat dipadamkan. Para pendukung Mas Rahmat ditumpas semua. Amangkurat I sendiri gagal saat mencoba meracuni Mas Rahmat tahun 1663. Hubungan ayah dan anak itu semakin tegang.
Pada tahun 1668 Mas Rahmat jatuh hati pada Rara Oyi, gadis Surabaya yang hendak dijadikan selir ayahnya. Pangeran Pekik nekad menculik Rara Oyi untuk dinikahkan dengan Mas Rahmat. Akibatnya, 
Amangkurat I murka dan membunuh Pangeran Pekik sekeluarga. Mas Rahmat sendiri diampuni setelah dipaksa membunuh Rara Oyi dengan tangannya sendiri.

Mas Rahmat diampuni ayahnya namun juga dipecat dari jabatan Adipati Anom. Jabatan putra mahkota Mataram kemudian diberikan kepada putra yang lain, yaitu Pangeran Puger.
Pada tahun 1674 datang kaum pelarian dari Makasar yang bernama Keraeng Galesong. Mereka meminta sebidang tanah di Mataram , namun ditolak oleh Amangkurat I. Diam-diam Mas Rahmat memberi mereka tanah di desa Demung, daerah Ketah dekat Besuki. 
Mas Rahmat merasa bimbang dan memilih kembali berada di pihak ayahnya. Ia kembali menjadi putra mahkota, karena Pangeran Puger sendiri berasal dari keluarga Kajoran (yang mendukung pemberontakan). Dengan bergabungnya Mas Rahmat kembali ke pihak ayahandanya yaitu, Amangkurat I, semakin mengobarkan api pemberontakan pada pasukan Trunajaya beserta Keraeng Galesong .
Akhirnya, pada tanggal 2 Juli 1677 Trunajaya menyerbu istana Plered. Amangkurat I dan Mas Rahmat sendiri melarikan diri ke barat, sedangkan istana dipertahankan oleh Pangeran Puger sebagai bukti kalau tidak semua kaum Kajoran mendukung Pangeran Trunajaya. Namun Pangeran Puger sendiri akhirnya terusir ke desa Kajenar.

Amangkurat I meninggal dalam pelariannya pada 13 Juli 1677 
Mas Rahmat disambut baik oleh Martalaya bupati Tegal. Ia sendiri memilih pergi haji daripada menghadapi Trunajaya. Tiba-tiba keinginannya tersebut batal, konon karena wahyu keprabon berpindah padanya. Mas Rahmat pun menjalankan wasiat ayahnya supaya bekerja sama denganVOC.
Pada bulan September 1677 diadakanlah perjanjian di Jepara. Pihak VOC diwakili Cornelis Speelman. Daerah-daerah pesisir utara Jawa mulai Kerawang sampai ujung timur di Panarukan digadaikan kepada VOC sebagai jaminan pembayaran atas biaya perang melawan Trunajaya.
Mas Rahmat pun diangkat sebagai Amangkurat II, seorang raja tanpa istana. Dengan bantuan VOC, ia berhasil mengakhiri pemberontakan Pangeran Trunajaya tanggal 26 Desember 1679. Amangkurat II bahkan menghukum mati Trunajaya dengan tangannya sendiri pada 2 Januari 1680.

Setelah Trunajaya dapat merebut keraton Mataram pada tanggal 28 Juni 1677 ia segera membawa berbagai pusaka kerajaan Mataram ke markasnya yang berada di Kediri.
Trunajaya dapat merebut keraton Mataram pada tanggal 28 Juni 1677 ia segera membawa berbagai pusaka kerajaan Mataram ke markasnya yang berada di Kediri. 
Kondisi politik kemudian memihak kepada Trunajaya setelah gagalnya perundingan antara Kompeni dan Karaeng Galesong. Pada 17 November 1678 pasukan Kompeni menyeberangi Sungai Brantas dengan dilindungi tembakan lima buah meriam. Beberapa hari kemudian (25 November 1678) barulah dilakukan serangan umum. Akhirnya karena kekuatan musuh jauh lebih besar Trunajaya terdesak dan berhasil menyingkir ke arah timur. Kediri berhasil dikuasai oleh VOC. Pusaka-pusaka keraton termasuk mahkota Majapahit jatuh ke tangan VOC dan diserahkan kembali kepada Sunan Amangkurat II pada 27 November 1678.

Setelah jatuhnya Kediri, Trunajaya menyingkir ke timur ke arah Blitar dan akhirnya menuju Malang.. Dalam keadaan serba sulit, Trunajaya mendapat dukungan dari daerah-daerah seperti Kediri, Ponorogo dan Kertosono. Sebanyak 500 orang prajurit Madura dikirim melalui Wirasaba ke Malang untuk memperkuat barisan Trunajaya. Saat di Batu , istri Trunajaya meninggal dunia karena terserang penyakit, menyusul kemudian satu-satunya putra lelakinya juga wafat..
Sementara di sisi lain karena perundingan gagal, pasukan Karaeng Galesong membuat kubu pertahanan di Bangil dan Keper Krembung, sebelah utara Sungai Porong. Kemudian VOC meminta bantuan Arung Palakka dari Bone untuk menangkap Karaeng Galesong. Pada tanggal 23 Agustus 1679 pasukan gabungan Bugis dan Kompeni di bawah Jacob Couper berangkat dari Surabaya menuju ke Keper, pada tanggal 30 Agustus di antaranya Daeng Tulolo. Mereka menyatakan akan bersedia untuk menyerah. Namun tidak ada tindak lanjut dari pertemuan tersebut. Akhirnya Kompeni memutuskan menyerang Keper pada tanggal 8 September 1679 di bawah pimpinan Arung Palakka pada tanggal 21 Oktober 1679 

Keper jatuh ke pasukan gabungan dalam pertempuran yang sengit dan banyak jatuh korban. Sementara pasukan Keraeng Galesong melarikan diri ke Batu untuk bergabung dengan mertuanya, Pangeran Trunajaya. Pasukan Makassar di bawah Karaeng Galesong juga mengundurkan diri ke Malang.Sebelum meninggal, Karaeng Galesong menunjuk putranya yang berusia sekitar 17 tahun, Karaeng Mamampang, sebagai penggantinya untuk menghindari perselisihan di antara orang Makassar pengikut pasukan Karaeng Galesong. Jacob Couper berusaha menghubungi Trunajaya dengan cara mengirim surat akan tetapi tidak berhasil. Akhirnya VOC memutuskan untuk mengadakan serangan ke Ngantang dengan mengirim pasukan VOC dan pasukan Arung Palakka., Esok paginya pasukan Arung Palakka merebut kubu pertahanan Trunajaya yang sedang dalam keadaan kekurangan di Rarata dengan serangan mendadak. 

Mereka memaksa pasukan Trunajaya melarikan diri lebih ke atas gunung. Pasukan Trunajaya mundur ke garis pertahanan kedua, yang berupa dua dinding bambu yang saling berhadapan Arung Palakka bersama sekelompok pasukan berputar mencari jalan untuk menyerang dari belakang. Sementara itu, kapten Belanda Van Vliet menuruni lembah gunung dengan pasukan Arung Palakka lainnya dan secara tiba-tiba menyerang dari atas, Ketika pasukan Arung Palakka dan VOC tiba di perkampungan tersebut, di Ngantang, pada hari berikutnya, mereka sudah melarikan diri kecuali empat bangsawan Makassar beserta 300 orang, wanita, dan anak-anak. Mereka memberi tahu Arung Palakka bahwa masih ada sekitar 1.500 orang Makassar, tidak termasuk wanita dan anak-anak, yang berada di bagian atas gunung.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar