Sunan Gresik (Maulana Malik Ibrahim)
Maulana Malik Ibrahim adalah keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad. Ia disebut juga Sunan Gresik. Ia diperkirakan lahir di Samarkand di Asia Tengah, pada paruh awal abad ke-14. Sunan Gresik umumnya dianggap sebagai wali pertama yang
Pada masa itu kerajaan yang berkuasa di Jawa Timur adalah Majapahit. Raja dan rakyatnya kebanyakan masih beragama Hindu atau Budha. Sebagian rakyat Gresik sudah ada yang beragam Islam, tetapi masih banyak yang beragama Hindu atau bahkan tidak beragama sama sekali.
Dalam Dakwah kakek bantal menggunakan cara yang bijaksana dan strategi yang tepat
berdasarkan ajaran Al-Qur’an yaitu :
“Hendaklah engkau ajak kejalan TuhanMu dengan hikmah (kebijaksanaan) dan dengan petunjuk-petunjuk yang baik serta ajaklah mereka berdialog (bertukar pikiran) dengan cara yang sebaik-baiknya (QS. An Nahl ; 125)”
Di Jawa, kakek bantal bukan hanya berhadapan dengan masyarakat Hindu melainkan juga harus bersabar terhadap mereka yang tak beragama maupun mereka yang terlanjur mengikuti aliran sesat, juga meluruskan iman dari orang-orang Islam yang bercampur dengan kegiatan Musyrik
Syekh Maulana Malik Ibrahim adalah si Kakek Bantal, penolong fakir miskin, yang dihormati para pangeran dan para sultan ahli tata negara yang ulung, hal itu menunjukkan betapa hebat perjuangan beliau terhadap masyarakat,
beliau juga ahli pertanian dan ahli pengobatan. Sejak beliau berada di Gresik hasil pertanian rakyat Gresik meningkat tajam. Dan orang-orang sakit banyak yang disembuhkannya dengan daun-daunan tertentu.
Sifatnya lemah lembut, welas asih dan ramah tamah kepada semua orang, baik sesama muslim atau dengan non muslim membuatnya terkenal sebagai tokoh masyarakat yang disegani dan dihormati.
Syekh Maulana Malik Ibrahim sangat terkenal, terutama dari kalangan kasta rendah. Sebagaimana diketahui agama Hindu membagi masyarakat menjadi 4 kasta yaitu
Dari ke empat kasta tersebut kasta sudra adalah yang paling rendah dan sering di tindas oleh kasta-kasta yang lebih tinggi. Maka ketika Syekh Maulana Malik Ibrahim menerangkan kedudukan seseorang didalam Islam, orang-orang kasta sudra dan waisya banyak yang tertarik, Syekh Maulana Malik Ibrahim menjelaskan bahwa dalam agama Islam semua manusia sama sederajat. Orang sudra boleh saja bergaul dengan kalangan yang lebih atas, tidak dibeda-bedakan. Dihadapan Allah semua manusia adalah sama, yang paling mulia diantara mereka hanyalah yang paling taqwa disisi Allah SWT.
sunan walisongo yang memiliki nama asli Raden Rahmat dan berkedudukan di Ngampel, dekat Surabaya. Sunan Ampel dilahirkan di negeri Champa (Sepanjang pantai Vietnam). Negeri Champa diketahui berdiri pada tahun 192 Masehi. Sampai sekarang masih ada komunitas masyarakat Champa di Vietnam, Thailand, Kamboja, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Ayah Sunan Ampel merupakan Sunan Gresik yaitu keturunan Syekh Jamalluddin Jumadil Kubra atau seorang Ahlussunnah bermazhab syafi’i. Syekh Jamalluddin merupakan ulama yang berasal dari Samarqand, Uzbekistan. Samarqand merupakan daerah dilahirkannya Ulama-Ulama besar. Salah satunya adalah Imam Bukhari yang dikenal sebagai pewaris hadist yang shahih. Sunan Ampel bernama asli Raden Rahmat, keturunan ke-22 dari Nabi Muhammad, menurut riwayat ia adalah putra Ibrahim Zainuddin Al-Akbar dan seorang putri Champa yang bernama Dewi Condro Wulan binti Raja Champa Terakhir Dari Dinasti Ming. Sunan Ampel umumnya dianggap sebagai sesepuh oleh para wali lainnya. Pesantrennya bertempat di Ampel Denta, Surabaya, dan merupakan salah satu pusat penyebaran agama Islam tertua di Jawa.
Kisah Perjuangan Sunan Ampel
Kerajaan Majapahit digeluti oleh masa yang suram karena banyak adipati dan bangsawan yang berpesta wanita dan berjudi. Prabu Brawijawa sebagai raja merasa sedih mengetahui keadaan kerajaan kacau seperti itu. Lalu istri Prabu mengusulkan mendatangkan seseorang yang mampu mengatasi masalah-masalah seperti itu, yaitu keponakannya sendiri Sayyid Ali Rahmatullah. Akhirnya raja menyetujui mendatangkan keponakan istrinya tersebut.
Setelah Majapahit mengirim utusan untuk menjemput Sayyid Ali Rahmatullah, tibalah Sayyid bersama ayah dan kakaknya di tanah Jawa. Namun mereka berpisah selama diperjalanan. Ayah dan kakaknya berhenti di daerah Tuban untuk beristirahat dan berniat berdakwah didaerah tersebut. Kemudian Sayyid tetap melanjutkan perjalanan dan akhirnya tiba di Majapahit. Sambutan yang hangat dari Prabu Brawijaya menghampiri Sayyid. Setelah Sayyid melepas lelah, Prabu menjelaskan sebab Sayyid dipanggil ke Majapahit. Setelah menerima tugas dari Prabu, Sayyid diberi sebuah tempat untuk mendidik bangsawan dan adipati. Kemudian Sayyid dijodohkan dengan putri Prabu yaitu Dewi Condrowati. Sehingga Sayyid Ali menjadi pangeran kerajaan Majapahit karena menjadi menantu Prabu Brawijaya. Karena dalam keluarga kerajaan Majapahit menyebut pangeran dengan sebutan “Raden”, maka Sayyid Ali Rahmatullah dikenal dengan Raden Rahmat.
Raden Rahmat segera mendidik dan menyadarkan para bangsawan dan adipati menuju ke jalan yang benar. Setelah berbagai cara dilakukan, akhirnya Raden Rahmat berhasil dan melanjutkan niatnya untuk berdakwah dalam masyarakat.
Saat melaksanakan dakwah di lingkup masyarakat, Raden bertemu dengan dua tokoh masyarakat yang mau menjadi pengikut Raden Rahmat. Yaitu Ki Wiryo Sarojo dan Ki Bang Kuning. Raden memanfaatkan keadaan ini untuk dakwah bersama dua tokoh ini. Sehingga sangat mudah bagi Raden Rahmat untuk mengajarkan ilmu-ilmu Islam. Saat Raden Rahmat berjalan menyusuri desa, Raden tiba di sebuah tempat yang kosong. Raden segera membangun masjid untuk beribadah bagi masyarakat. Daerah tersebut dikenal dengan Ampeldenta. Karena Raden Rahmat diberi kekuasaan di daerah tersebut, Raden Rahmat akhirnya dikenal dengan Sunan Ampel.
Cara Berdakwah Sunan Ampel
Cara yang ditempuh Sunan Ampel sangat singkat dan cepat, antara lain adalah dengan dikenalnya falsafah Moh Limo. Falsafah tersebut yaitu :
Moh Main (tidak mau berjudi).
Moh Ngombe (tidak mau mabuk karena minum minuman arak).
Moh Maling (tidak mau mencuri).
Moh Madat (tidak mau merokok atau menggunakan narkotika)
Moh Madon ( tidak mau bermain dengan perempuan yang bukan istrinya)
Sunan Bonang (Makhdum Ibrahim)
. Sunan Bonang adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad. Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila, putri adipati Tuban bernama Arya Teja. Sunan Bonang banyak berdakwah melalui kesenian untuk menarik penduduk Jawa agar memeluk agama Islam. Ia dikatakan sebagai penggubah suluk Wijil dan tembang Tombo Ati, yang masih sering dinyanyikan orang. Pembaharuannya pada gamelan Jawa ialah dengan memasukkan rebab dan bonang, yang sering dihubungkan dengan namanya.
Sunan Bonang dilahirkan pada tahun 1465, dengan nama Raden Maulana Makdum Ibrahim. Dia adalah putra Sunan Ampel dan Nyai Ageng Manila. Bonang adalah sebuah desa di kabupaten Rembang. Nama Sunan Bonang diduga adalah Bong Ang sesuai nama marga Bong seperti nama ayahnya Bong Swi Hoo alias Sunan Ampel.
Sunan Bonang wafat pada tahun 1525 M, dan saat ini makam aslinya berada di Desa Bonang. Namun, yang sering diziarahi adalah makamnya di kota Tuban. Lokasi makam Sunan Bonang ada dua karena konon, saat dia meninggal, kabar wafatnya dia sampai pada seorang muridnya yang berasal dari Madura. Sang murid sangat mengagumi dia sampai ingin membawa jenazah dia ke Madura. Namun, murid tersebut tak dapat membawanya dan hanya dapat membawa kain kafan dan pakaian-pakaian dia. Saat melewati Tuban, ada seorang murid Sunan Bonang yang berasal dari Tuban yang mendengar ada murid dari Madura yang membawa jenazah Sunan Bonang. Mereka memperebutkannya.
Dalam Serat Darmo Gandhul, Sunan Bonang disebut Sayyid Kramat merupakan seorang Arab keturunan Nabi Muhammad.
silsilah yang menghubungkan Sunan Bonang dan Nabi Muhammad:
Sunan Bonang (Makdum Ibrahim) bin
Sunan Ampel (Raden Rahmat) Sayyid Ahmad Rahmatillah bin
Maulana Malik Ibrahim bin
Syekh Jumadil Qubro (Jamaluddin Akbar Khan) bin
Ahmad Jalaludin Khan bin
Abdullah Khan bin
Abdul Malik Al-Muhajir (dari Nasrabad,India) bin
Alawi Ammil Faqih (dari Hadramaut) bin
Muhammad Sohib Mirbath (dari Hadramaut) bin
Ali Kholi' Qosam bin
Alawi Ats-Tsani bin
Muhammad Sohibus Saumi'ah bin
Alawi Awwal bin
Ubaidullah bin
Muhammad Syahril
Ali Zainal 'Abidin bin
Hussain bin
Ali bin Abi Thalib (dari Fatimah az-Zahra binti Muhammad SAW)
Karya Sastra
Karya Sastra Sunan Bonang banyak menggubah sastra berbentuk suluk atau tembang tamsil. Antara lain Suluk Wijil yang dipengaruhi kitab Al Shidiq karya Abu Sa'id Al Khayr. Sunan Bonang juga menggubah tembang Tamba Ati (dari bahasa Jawa, berarti penyembuh jiwa) yang kini masih sering dinyanyikan orang.
Dia juga menulis sebuah kitab yang berisikan tentang Ilmu Tasawwuf berjudul Tanbihul Ghofilin. Kitab setebal 234 hlmn ini sudah sangat populer dikalangan para santri.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang,
Keilmuan
Sunan Bonang juga terkenal dalam hal ilmu kebathinannya. Ia mengembangkan ilmu (dzikir) yang berasal dari Rasullah SAW, kemudian dia kombinasi dengan kesimbangan pernapasan, yang disebut dengan rahasia Alif Lam Mim ( ا ل م ) yang artinya hanya Allah SWT yang tahu. Sunan Bonang juga menciptakan gerakan-gerakan fisik atau jurus yang Dia ambil dari seni bentuk huruf Hijaiyyah yang berjumlah 28 huruf '. Ia menciptakan Gerakan fisik dari nama dan simbol huruf hijayyah adalah dengan tujuan yang sangat mendalam dan penuh dengan makna, secara awam
sunan walisongo yang awalnya bernama Masih Munat ini adalah adik dari Sunan Bonang. Ia berkedudukan di Drajat, dekat Sedayu, Surabaya
Sunan Drajat adalah putra Sunan Ampel, dan merupakan keturunan ke-23 dari Nabi Muhammad, Ia adalah putra Sunan Ampel dengan Nyai Ageng Manila. Dialah wali yang memelopori penyatuan anak-anak yatim dan orang sakit.
Sunan Drajat bernama kecil Raden Syarifuddin atau Raden Qosim putra Sunan Ampel Setelah pelajaran Islam dikuasai, ia mengambil tempat di Desa Drajat wilayah Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan sebagai pusat kegiatan dakwahnya sekitar abad XV dan XVI Masehi. Ia memegang kendali keprajaan di wilayah perdikan Drajat sebagai otonom kerajaan Demak selama 36 tahun.
Ia sebagai Wali penyebar Islam yang terkenal berjiwa sosial, sangat memperhatikan nasib kaum fakir miskin. Ia terlebih dahulu mengusahakan kesejahteraan sosial baru memberikan pemahaman tentang ajaran Islam. Motivasi lebih ditekankan pada etos kerja keras, kedermawanan untuk mengentas kemiskinan dan menciptakan kemakmuran.
ia memperoleh gelar Sunan Mayang Madu dari Raden Patah Sultan Demak pada tahun saka 1442 atau 1520 Masehi.
Membangun resep tyasing Sasoma (kita selalu membuat senang hati orang lain)
Jroning suka kudu éling lan waspada (di dalam suasana riang kita harus tetap ingat dan waspada)
Laksmitaning subrata tan nyipta marang pringgabayaning lampah (dalam perjalanan untuk mencapai cita - cita luhur kita tidak peduli dengan segala bentuk rintangan)
Mèpèr Hardaning Pancadriya (kita harus selalu menekan gelora nafsu-nafsu)
Heneng - Hening - Henung (dalam keadaan diam kita akan memperoleh keheningan dan dalam keadaan hening itulah kita akan mencapai cita - cita luhur).
Mulya guna Panca Waktu (suatu kebahagiaan lahir batin hanya bisa kita capai dengan salat lima waktu)
Mènèhana teken marang wong kang wuta, Mènèhana mangan marang wong kang luwé, Mènèhana busana marang wong kang wuda, Mènèhana ngiyup marang wong kang kodanan (Berilah ilmu agar orang menjadi pandai, Sejahterakanlah kehidupan masyarakat yang miskin, Ajarilah kesusilaan pada orang yang tidak punya malu, serta beri perlindungan orang yang menderita)
Dalam sejarahnya Sunan Drajat juga dikenal sebagai seorang Wali pencipta tembang Mocopat
Mochtadin Si Beted
Tidak ada komentar:
Posting Komentar